Terdapat keyakinan, dahulu nyaris seluruh daratan
Indonesia ditumbuhi hutan. Pada 2003, luas hutan di seluruh Indonesia
menyusut sampai 101,73 juta hektar.
Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi
di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di
permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan
yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies
mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung
di dunia.1
Sejatinya, seberapa luas hutan di Indonesia? Dinas Kehutanan
Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan
informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia
(162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder,
termasuk seluruh tipe perkebunan.
Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara
berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000
hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000
hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000
hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara
Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.
Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada 1939 perkebunan
skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan
hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi
sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an. Tahun 1969, luas perkebunan
skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar. Sebagaian besar lahan hutan
itu berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar 1950-an dan
1960-an. Alasan utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk
kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.2
Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa
era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah
serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas
coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan secara
komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi
pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan
untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan.
Pada akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang
serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi
menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya.
Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan
hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. bila dibandingkan dengan
luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara
1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2
juta hektar.
Namun angka-angka itu segera diralat, ketika pemerintah dan Bank
Dunia pada 1999, bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan
hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun
1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi,
Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara
keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan
hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus,
hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan di
Kalimantan setelah 2010.
Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan
alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan
aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).
Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan
meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat
ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu
tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia
berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73
juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar
berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).3
Dan menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi,
ekonomi, dan sosial ternyata semakin buram.
Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan
penilaian komprehensif yang pertama mengenai keadaan hutan Indonesia.
Laporan ini menyimpulkan bahwa laju deforestasi yang meningkat dua kali
lipat utamanya disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang korup,
yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber
pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan
keuntungan pribadi. Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis
ekonomi pada 1997 dan yang akhirnya me-lengser-kan Presiden Soeharto
pada 1998, menyebabkan deforestasi semakin bertambah sampai tingkatan
yang terjadi pada saat ini.
Pengelolaan hutan yang buruk dimulai semenjak Soeharto berkuasa.
Konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang mencakup lebih dari setengah luas
total hutan Indonesia, oleh mantan Presiden Soeharto sebagian besar di
antaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya.
Kroniisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan bebas
beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang.
Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp
dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap
bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal.
Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak
industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu
curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.
Korupsi dan anarki atau ketiadaan hukum semakin berkembang menjadi
faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal dan penggundulan hutan.
Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di
Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional
Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan
menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak
pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan
hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin
Pemanfaatan Kayu (kayu IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi.
Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan
jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa
perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk
pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan
di Indonesia.
Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman serius terhadap
kerusakan hutan Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak
tindakan hukum yang telah diambil oleh pemerintah terhadap para pembakar
hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan tentang larangan
pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.
2.Data
ini ditulis oleh Bayu Dwi Mardana yang dimuat
dalam http://www.inform.or.id/
© 2004, ISAI
Tim Penulis: Ludhy Cahyana, Tri Mariyani Parlan Tim
Peneliti: Dyah Listyorini, Iwan Achmad Ambiya, Waryanto, Nanin
Upiyanti, Juita Kartini Diterbitkan oleh: Institut Studi Arus
Informasi (ISAI)/Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil serta
didukung oleh Greencom.
0 comments:
Post a Comment