Hutan Bakau atau disebut juga Hutan mangrove
adalah Hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak
pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini
tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari
gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan
mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem
Hutan Bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran tadi --yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi;
serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya
sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan
jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas Hutan Bakau karena telah
melewati proses adaptasi dan evolusi.
Luas dan Penyebaran
Hutan
Bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di
sekeliling Khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas Hutan Bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta Hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Di
Indonesia, Hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda
yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar.
Yakni di pantai timur Sumatera, dan pantai barat serta selatan Kalimantan . Di pantai utara Jawa, Hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia ,
di tepi Dangkalan Sahul, Hutan mangrove yang masih baik terdapat di
pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di
Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas Hutan
Bakau Indonesia .
Lingkungan fisik dan zonasi
Jenis-jenis
tumbuhan Hutan Bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi
lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona Vegetasi
tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
Sebagai
wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang
paling umum adalah Hutan Bakau tumbuh di atas lumpur Tanah Liat
bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan
organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula Hutan Bakau
yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Substrat
yang lain adalah lumpur dengan kandungan Pasir yang tinggi, atau bahkan
dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan denganTerumbu
Karang.
Bagian
luar atau bagian depan Hutan Bakau yang berhadapan dengan laut terbuka
sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang
kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Yang
agak serupa adalah bagian-bagian Hutan yang berhadapan langsung dengan
aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya,
salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian
yang agak jauh dari muara. Hutan Bakau juga merupakan salah satu
perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Bagian
luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan
bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam. Pada
pihak lain, bagian-bagian di pedalaman Hutan mungkin hanya terendam air
laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi
variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk
zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari
bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang
relatif kering.
Jenis-jenis Bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan Bakau R. stylosa dan Perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran Bakau R. mucronata dengan jenis-jenis Kendeka (Bruguiera spp.), Kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui Nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan Bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman Hutan didapatkan Nirih (Xylocarpus spp.), Teruntum (Lumnitzera racemosa), Dungun (Heritiera littoralis) dan Kayu Buta – Buta (Excoecaria agallocha).
Menghadapi
lingkungan yang ekstrim di Hutan Bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan
berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan Vegetasi mangrove menumbuhkan
organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar
Garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasiFisiologis.
Pohon-pohon Bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus
spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk
menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara
bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi
mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan Hutan Bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan Hutan Bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun.
Perkembangbiakan
Adaptasi
lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis.
Lingkungan yang keras di Hutan Bakau hampir tidak memungkinkan jenis
biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi
kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut
air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir
semua jenis flora Hutan Bakau memiliki biji atau buah yang dapat
mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain
itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji
atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah Bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera).
Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang
serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok
dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat
jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian
lain dari Hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke
tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus)
dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak
dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi
meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu.
Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul
seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga
berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau
selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat
‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama
perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap,
beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian
tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang
vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di
dasar air dangkal yang berlumpur.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat)
yang dapat berfungsi sebagai substrat Hutan Bakau. Hingga pada suatu
saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi
mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir Hutan Bakau.
Tumbuhnya Hutan Bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan Bakau pun semakin meluas.
Tumbuhnya Hutan Bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan Bakau pun semakin meluas.
Pada
saatnya bagian dalam Hutan Bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak
cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.
Demikian
perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus
tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan Hutan Bakau,
zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Uraian
di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh
lebih rumit. Karena tidak selalu Hutan Bakau terus bertambah luas,
bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi.
Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.
Di
wilayah-wilayah yang sesuai, Hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas
mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari
itu.
Kekayaan flora
Beraneka
jenis tumbuhan dijumpai di Hutan Bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54
species dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap
sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan
hidup terbatas di lingkungan Hutan mangrove dan jarang tumbuh di
luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia ; menjadikan Hutan Bakau Indonesia
sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudra Hindia dan
Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk
jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).
0 comments:
Post a Comment